Sabtu, 31 Mei 2008

Pengalamanku ikut Psikotes

Beberapa bulan terakhir, dalam rangka memenuhi keingintahuanku tentang proses seleksi yang dilakukan perusahaan ternama, sekaligus iseng-iseng berhadiah, aku mencoba apply ke beberapa perusahaan besar yang sedang membuka lowongan. Maklum, selama ini aku Cuma dapat teori tentang proses seleksi tanpa pernah mengalaminya langsung.

Sebulan yang lalu, aku sempat apply ke sebuah perusahaan otomotif ternama di Indonesia. Salah satu alasan paling mendasar untuk apply di perusahaan ini adalah perusahaan ini memiliki alat tes intelegensi sendiri dan kabarnya susah banget untuk menembus passing grade yang ditetapkan perusahaan. Seandainya aku bisa menembus passing grade mereka, kayanya keren banget de.. hehe.. 3hari kemudian, aku dinyatakan lolos tahap administrasi. Tahap selanjutnya adalah psikotes. Psikotes dilakukan di salah satu universitas negeri di Semarang pada pukul 13.00. Yang terbersit di pikiranku waktu itu adalah males banget. Tapi demi keinginan untuk membuktikan kalo aku bisa menembus passing grade itu, akhirnya kubuanglah rasa males itu.

Sesampai di lokasi, sudah banyak sekali orang yang bertengger di situ. Psikotes baru dimulai pukul 13.30. Ternyata psikotes yang aku ikuti adalah gelombang 2. Sebelumnya sudah ada psikotes yang dilakukan pada pukul 08.00.

Setelah peserta gelombang 2 memasuki ruangan, ada seorang dari konsultan yang telah ditunjuk oleh perusahaan yang mengucapkan salam dengan nada yang menurut kami (aku dan dua orang teman) agak tinggi dan kurang ramah. Orang tersebut (yang kemudian aku tahu adalah seorang psikolog) menanyakan kepada kami, peserta, apakah sudah makan. Ketika kami menjawab belum, tiba-tiba dia berkata dengan nada yang tidak mengenakkan dan terkesan menyalahkan kami. Dia berkata, “Salah sendiri, mau psikotes kok gak makan.” Setelah itu, aku mulai ilfeel dan agak ogah-ogahan mengikuti tes. Kemudian tes dimulai. Instruksi dilakukan oleh tester yang juga sama sekali tidak ramah. Tes dilakukan secara marathon, terdiri dari CFIT 3B, intelegensi 5 set, Pauli dan diakhiri dengan EPPS. Kejadian tidak menyenangkan terjadi ketika peserta diminta mengumpulkan tes Pauli. Waktu itu, karena hampir 2 jam kami berkutat dengan soal, pada saat mengumpulkan tes Pauli, kami melakukannya sambil berbicara. Tiba-tiba tester berkata, “Kalian itu lulusan S1. Kerja itu pake tangan bukan pake mulut”. Aku dan 2 orang temanku langsung terkejut. Kata-kata speerti itu tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang tester. Apalagi kalo melihat penampilan tester itu, aku menduga dia juga paling masih kuliah S1, yah maksimal masih kuliah S2 lah. Setelah tes maraton selesai, kami diminta untuk menunggu karena hasil tes segera diumumkan saat itu juga dan setelah pengumuman keluar, yang lolos ke tahap selanjutnya segera mengikuti tes kepribadian. Kebetulan aku lolos. Suatu kebanggaan juga, aku berhasil. Hehe..

Pada waktu mengikuti tes kepribadian, gelombang 1 dan 2 digabungkan. Tes kepribadian menggunakan grafis dan wartegg. Setelah tes, kami diminta melihat pengumuman interview. Kebetulan aku mendapat jatah interview dua hari kemudian. Sedangkan temanku mendapatkan jatah keesokan harinya.

Keesokan harinya, setelah temanku interview, aku menanyakan nasibnya, ternyata dia tidak lolos. Dia bilang kalo yang lolos dari gelombang 1 semua. Pada waktu giliranku interview, aku terkejut juga, ada seorang psikolog yang memakai polo shirt dan celana jeans melakukan interview. Ternyata dia yang menjadi interviewerku. Selama interview, pertanyaan yang diajukan hanya seputar skripsi dan tesisku tanpa melakukan cross check dengan hasil psikotes. Aku cukup merasa aneh dengan proses interview tersebut. Setelah pengumuman keluar, yang lolos dari gelombang 2 hanya sekitar 7 orang. Aku gak lolos.

Sebenarnya apapun hasil yang kudapat, aku gak peduli. Aku juga gak terlalu berminat untuk bergabung di perusahaan tersebut. Aku lebih tertarik untuk mengomentari proses seleksi tersebut. Aku menyesalkan kenapa sebuah perusahaan besar memakai konsultan yang sangat tidak profesional. Buat aku, semua itu adalah suatu pelajaran penting. Paling gak ketika nanti aku mempunyai konsultan sendiri, jangan sampai aku atau orang-orang yang bekerja bersamaku berperilaku seperti itu.

Tidak ada komentar: